PPHN: Merancang ulang kompas pembangunan bangsa
Dalam dinamika sistem ketatanegaraan, seringkali terjadi diskontinuitas dalam perencanaan pembangunan nasional.
Fenomena ini tercermin dari perubahan orientasi program dan prioritas kebijakan yang tidak koheren seiring bergantinya kepemimpinan eksekutif.
Konsekuensi dari inkoherensi ini adalah suboptimalnya alokasi sumber daya dan ketidakpastian bagi para pemangku kepentingan, yang pada akhirnya menghambat pencapaian tujuan pembangunan.
Ketiadaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai dokumen perencanaan pembangunan yang mengikat, sejak amandemen UUD 1945, telah berimplikasi pada hilangnya kerangka strategis nasional.
Dokumen yang kini berlaku, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), merupakan penjabaran visi-misi presiden terpilih dan memiliki horizon waktu yang terbatas, yaitu lima tahun.
Meskipun terdapat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), kekuatan hukumnya tidak setingkat TAP MPR seperti GBHN, sehingga keberlanjutan visi pembangunan lintas-periode kepemimpinan menjadi sebuah tantangan struktural.
Kesenjangan ini menciptakan semacam "kekosongan strategis," di mana setiap pemerintahan baru merasa memiliki keleluasaan penuh untuk merumuskan ulang peta jalan bangsa dari awal.
Meskipun Pembukaan UUD 1945 memuat arah fundamental bangsa, rumusan yang bersifat filosofis tersebut memerlukan penjabaran operasional yang spesifik untuk menghadapi kompleksitas tantangan kontemporer, seperti transisi energi dan transformasi digital.
Kesenjangan antara visi normatif dan implementasi praktis ini menjadi justifikasi utama di balik wacana pengembalian Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Urgensi ini semakin diperkuat oleh adanya pergeseran paradigma global yang menuntut respons terkoordinasi dan jangka panjang.
Pondasi Kebijakan Nasional
Gagasan PPHN muncul sebagai respons terhadap kebutuhan akan instrumen perencanaan yang dapat mengatasi fragmentasi kebijakan tanpa kembali ke model sentralistik era Orde Baru.
Berbeda dengan GBHN, PPHN tidak dirancang untuk menempatkan Presiden sebagai mandataris MPR.
Dalam sistem presidensial, Presiden memperoleh mandat langsung dari rakyat. Oleh karena itu, PPHN diharapkan berfungsi sebagai pedoman strategis, bukan sebagai perintah hirarkis yang mengintervensi otoritas eksekutif.
PPHN harus menjadi koridor kebijakan nasional yang disepakati secara kolektif oleh seluruh lembaga negara. PPHN dapat ditetapkan sebagai TAP MPR atau Undang-Undang dengan substansi yang memuat prinsip-prinsip dasar dan sasaran makro sebagai turunan dari Pembukaan UUD 1945.
Dokumen ini tidak akan mendetilkan program kerja atau alokasi anggaran, melainkan akan menggariskan arah strategis dalam jangka panjang, misalnya 25 tahun. Detil operasional akan tetap menjadi domain pemerintah melalui RPJMN, yang penyusunannya harus berkoherensi dengan PPHN.
Dengan demikian, PPHN akan menjadi acuan normatif yang memastikan setiap visi dan misi calon presiden tetap berada dalam koridor pembangunan nasional yang telah disepakati bersama.
Sebagai instrumen strategis, PPHN tidak akan mencampuri hal-hal teknis seperti penentuan lokasi proyek, spesifikasi teknologi, atau jadwal pelaksanaan, yang merupakan wewenang penuh dari pemerintah eksekutif.
Fungsinya akan menetapkan kerangka yang lebih tinggi dan universal, seperti target persentase energi terbarukan dalam bauran energi nasional, tujuan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), atau target spesifik dalam penanggulangan kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Dengan demikian, setiap presiden memiliki fleksibilitas untuk memilih strategi terbaik dan paling efektif sesuai dengan kondisi sosial-politik dan ekonomi yang ada pada masanya, asalkan strategi tersebut konsisten dengan tujuan jangka panjang PPHN.
Inilah cara PPHN menjembatani kebutuhan akan koherensi strategis tanpa membatasi inovasi dan inisiatif dari kepemimpinan yang berkuasa.
Selain itu, PPHN diharapkan mampu menciptakan lingkungan investasi yang lebih stabil dengan memberikan kepastian bagi para pelaku ekonomi.
Kompas pembangunan bangsa
Dari perspektif teknokratis, urgensi PPHN terletak pada kemampuannya untuk menciptakan kepastian dan stabilitas kebijakan.
Inkonsistensi perencanaan menimbulkan risiko signifikan bagi investasi jangka panjang, baik dari sektor swasta maupun publik.
Pembangunan yang berorientasi elektoral cenderung mengutamakan proyek jangka pendek, mengabaikan fondasi pembangunan esensial seperti penguatan modal manusia dan infrastruktur strategis yang membutuhkan waktu implementasi puluhan tahun.
Ketiadaan PPHN bukan sekadar isu teknis, tetapi merupakan kegagalan kelembagaan untuk membangun konsensus strategis lintas-periode.
PPHN, oleh karena itu, harus berfungsi sebagai mekanisme koherensi yang mengikat seluruh elemen penyelenggara negara, termasuk fungsi legislatif DPR dalam persetujuan anggaran. Hal ini akan menjamin sinergi antar-lembaga dan kesinambungan program pembangunan.
PPHN bukan tentang mengulangi sejarah, melainkan tentang membangun fondasi kelembagaan yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan masa depan.
PPHN akan menerjemahkan visi agung konstitusi menjadi sebuah peta jalan strategis yang terukur, memberikan jaminan kepastian bagi para pemangku kepentingan, dan memastikan Indonesia mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Implementasi PPHN akan menandai kematangan sistem politik yang mampu menyeimbangkan antara mandat demokratis jangka pendek dan kebutuhan strategis jangka panjang, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil hari ini adalah bagian dari perjalanan besar menuju visi Indonesia yang dicita-citakan bersama.
Konsekuensi dari tidak adanya PPHN, seperti yang kita amati, adalah politik pembangunan yang terjebak dalam pragmatisme, kurangnya keberanian untuk mengambil keputusan-keputusan transformasional yang dampaknya baru terasa puluhan tahun ke depan, dan erosi kepercayaan publik terhadap proses politik.
Oleh karena itu, kehadiran PPHN bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah keharusan demi kelangsungan visi kebangsaan yang utuh dan kuat.
0 Response to "PPHN: Merancang ulang kompas pembangunan bangsa"
Posting Komentar